Minggu, 26 April 2015

SISTEM KEUANGAN INDONESIA


Sistem keuangan, yang terdiri dari otoritas keuangan, sistem perbankan, dan sistem lembaga keuangan bukan bank, pada dasarnya merupakan tatanan dalam perekonomian suatu negara yang memiliki peran utama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan. Fasilitas jasa keuangan tersebut diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan, termasuk pasar uang dan pasar modal.
Sistem keuangan dapat diartikan sebagai kumpulan institusi, pasar, ketentuan perundangan, peraturan-peraturan, dan teknik-teknik di mana surat berharga diperdagangkan, tingkat bunga ditetapkan, dan jasa-jasa keuangan (financial services) dihasilkan serta ditawarkan ke seluruh bagian dunia (Peter S. Rose, 7th editionm 2000).
Sistem keuangan memiliki fungsi-fungsi pokok, yaitu fungsi tabungan (saving function), fungsi kekayaan (wealth function), fungsi likuiditas (liquidity function), fungsi kredit (credit function), fungsi pembayaran (payment function), fungsi resiko (risk function), serta fungsi kebijakan (policy function).
Dalam perjalanan sejarah sektor keuangan Indonesia, sistem keuangan mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat fundamental terutama setelah memasuki era deregulasi pada akhir dekade 1980-an yang kemudian berlanjut dengan diundangkannya beberapa undang-undang di bidang keuangan dan perbankan.

Otoritas Keuangan
Otoritas keuangan yang berperan dalam pengaturan dan pengawasan di bidang keuangan dan perbankan di Indonesia terdiri dari:
1.      Bank Indonesia, selaku otoritas keuangan dan moneter.
2.      Pemerintah (Departemen Keuangan), namun setelah Bank Indonesia menjadi lembaga independen, kewenangan Departemen Keuangan dalam melakukan pengaturan dan pengawasan hanya pada Lembaga Keuangan Bukan Bank;
3.      Otoritas Jasa Keuangan;
4.      Lembaga Penjamin Simpanan, lembaga ini bertugas memberi jaminan atas simpanan kepada nasabah bank.




SISTEM MONETER DAN PERBANKAN INDONESIA

Yang termasuk dalam sistem moneter adalah bank-bank atau lembaga-lembaga yang ikut menciptakan uang giral. Di Indonesia yang dapat digolongkan ke dalam sistem moneter adalah otoritas moneter yaitu Bank Indonesia dan bank-bank pencipta uang giral. Oleh karena itu sistem perbankan merupakan bagian integral dari suatu sistem moneter.
Otoritas Moneter, Pemerintah dan Bank Sentral/Bank Indonesia bertanggung jawab menciptakan dan menawarkan uang primer berupa uang kartal (kertas dan logam) bagi masyarakat umum dan bank reserves bagi perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Sedangkan perbankan dan lembaga keuangan lainnya berdasarkan uang primer yang dimiliki menciptakan uang sekunder dalam bentuk giral, seperti giro (demand deposits), deposito berjangka (time deposits), tabungan (saving deposits), dan uang sekunder lainnya. Mereka yang terlibat dalam penciptaan dan penawaran uang beredar merupakan satu kesatuan dalam suatu sistem moneter.
Uang-uang yang ditawarkan melalui monetary system digunakan oleh masyarakat, baik pengusaha maupun masyarakat biasa untuk keperluan konsumsi dan produksinya. Penciptaan uang bukan semata-mata kehendak otoritas moneter (Bank Indonesia), melainkan juga harus ada permintaan dari masyarakat sehingga jumlah uang beredar harus memenuhi tuntutan mekanisme pasar yaitu pertemuan antara permintaan dan penawaran.

Pengendalian Moneter
Jumlah uang beredar, baik dalam standar barang (commodity standard) maupun standar kepercayaan (fiat standard) tidak boleh terlalu berlebihan atau kurang. Kontrol jumlah uang beredar perlu dilakukan untuk menciptakan iklim yang baik bagi stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi, serta kontrol terhadap kegiatan kredit. Kontribusi kebijakan moneter terhadap stabilitas harga sangat penting artinya untuk mengurangi/menekan tingkat inflasi. Pertumbuhan jumlah uang yang beredar sebaiknya mengikuti pertumbuhan ekonomi, sehingga secara tidak langsung dapat menekan tingkat pengangguran. Bank Sentral selaku pelaksana kebijakan moneter, menjalankan kebijakannya yang bersifat kuantitatif (quantitative control policy) dan kualitatif (qualitative control policy). Instrumen-instrumen yang biasa digunakan dalam menjalankan kebijakan kuantitatif adalah Pengaturan Tingkat Bunga dan Tingkat Diskonto (rediscount rate policy), Pengatuan Operasi Pasar Terbuka (open market operation), dan Pengaturan Tingkat Cadangan Minimal dan Tingkat Kelebihan Cadangan (reserves requirement policy). Dalam melaksanakan kebijakan kualitatif pemerintah mengadakan pendekatan langsung (direct approach) kepada bank-bank umum, dengan turut mengawasi kebijakan bank-bank umum dalam memberikan pinjaman kepada para nasabahnya secara selektif.

Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia
Dalam  melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter.
Dengan kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melalui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan.  Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik.  Secara operasional,  stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan  (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan.  Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan inflasi.


Tata Perbankan Indonesia
Dalam UU No. 11/1953 tentang Bank Indonesia, antara lain ditegaskan bahwa Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasihat (Pasal 21). Dewan Moneter terdiri atas Menteri Keuangan sebagai Ketua, Gubernur BI sebagai Wakil Ketua dan Menteri Perekonomian sebagai anggota. Tetapi penentuan kebijakan moneter dipercayakan kepada Dewan Moneter (Pasal 22); dan pelaksanaannya diserahkan kepada Direksi, yang terdiri atas Gubernur dan dua orang Direktur. Dewan Penasihat terdiri atas sembilan orang yang mewakili unsur usahawan, pertanian, dan organisasi buruh. Dalam pelaksanaan tugasnya, Menteri Keuangan dibantu oleh sebuah staf, yang dinamakan Bagian Moneter II dari Depertemen Keuangan. Jadi peranan Dewan Moneter, khususnya Gubernur, sangat besar dalam menetapkan kebijakan moneter. Dengan status bukan menteri, diharapkan Gubernur bisa terlepas dari tekanan politik yang mungkin datang dari pemerintah. Struktur perbankan menurut UU No. 11/1953 
              Dengan dikeluarkannya PP No. 1/1955, kedudukan dan peranan BI menjadi lebih tegas dan terperinci berkenaan dengan pertimbangan untuk izin pendirian \bank dan pengawasan solvabilitas serta likuiditas bank.
              Untuk menghindarkan bank melakukan usaha-usaha yang spekulatif, Dewan Moneter mengeluarkan Keputusan No. 25/1957, yang melarang bank untuk: (1) melakukan kegiatan berdagang, kecuali mengenai surat-surat berharga; (2) mendirikan atau turut serta mendirikan perusahaan yang tidak bergerak di bidang perbankan; (3) memimpin perusahaan yang tidak bergerak di bidang perbankan.
              Dalam tahun 1962 terjadi perubahan Kabinet, di mana Gubernur BI berkedudukan sebagai Menteri di bawah Wakil Menteri Pertama. Perubahan ini antara lain membawa konsekuensi dihapuskannya Dewan Moneter, dan segala wewenangnya diambil alih oleh Kabinet. Ini berarti otoritas meneter sama sekali tidak bersifat independen, melainkan sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah (Wakil Menteri Pertama Bidang Keuangan).
             Menurut Tap MPRS No. XXIII/MPRS/1966, pemerintah ingin mengembalikan pengawasan dan pembinaan lembaga perbankan dan perkreditan kepada BI. Tetapi UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral tidak sesuai dengan semangat itu. Pertama, sebutan undang-undangnya sendiri adalah tentang Bank Sentral, walaupun dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa dengan nama Bank Indonesia didirikan suatu Bank Sentral Indonesia, padahal UU No. 11/1953 secara tegas sudah menyebutkan Bank Indonesia. Kedua, kedudukan Dewan Moneter adalah sebagai alat pemerintah, yaitu untuk membantu pemerintah dalam pemikiran, perencanaan, dan penetapan kebijakan moneter. Dengan demikian, Dewan Moneter lebih banyak bersifat advisory body bagi pemerintah, dibandingkan sebagai policy making body. Ketiga, kedudukan Gubernur BI hanya sebagai anggota Dewan Moneter. Jadi peranannya  menjadi lebih lemah dalam merumuskan kebijakan moneter. Keempat, terdapat Komisaris Pemerintah, yang bertugas mengawasi Bank Indonesia sebagai perusahaan.
              Sebagai bank yang melayani bank-bank (banker’s bank), BI memberikan kredit likuiditas. Kredit likuiditas ada tiga macam, yaitu kredit likuiditas biasa, darurat umum, dan darurat khusus. Kredit likuiditas biasa diberikan terutama kepada bank-bank pemerintah, khususnya yang disebut kredit program, seperti kredit bimas, insus, kredit usaha tani, KIK, KMKP, KMI, kredit profesi, dll.  Kredit likuiditas darurat umum diberikan kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas sebagai akibat adanya kekeliruan dalam mengambil kebijakan atau salah perhitungan (mismatch). Kredit likuiditas darurat khusus diberikan kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas sebagai karena adanya perubahan yang mendadak di luar kemampuannya, misalnya kebijakan moneter, krisis ekonomi, dll. Kredit likuiditas ini diberikan dengan suku bunga yang rendah.

Persaingan Global dan Krisis Moneter
              Sebagai antisipasi terhadap persaingan global sejalan dengan era perdagangan bebas, dunia perbankan harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang berlaku secara internasional. Dalam hubungan ini telah dikeluarkan SE BI No. 23/11/BPPP tanggal 28 Februari 1991, yang antara lain menyatakan bahwa kewajiban penyertaan modal minimum tertentu terhadap aktiva tertimbang menurut resiko sesuai dengan standar Bank for International Settlements (BIS) sebesar 8 %. Namun apabila terdapat faktor lain yang menambah resiko, maka perlu penyertaan modal minimum lebih dari 8 %.
              Sebagai akibat adanya krisis moneter dan diikuti dengan krisis ekonomi, hampir semua bank mempunyai masalah, seperti kredit macet, diragukan, dan kurang lancer. Karena itu, persyaratan modal minimum ditingkatkan lagi untuk terciptanya system perbankan yang sehat sesuai dengan PP No. 38/1998, 9 Maret 1998. Modal disetor untuk mendirikan BU adalah Rp. 3 trilyun. BU yang telah berdiri wajib menyesuaikan modal setornya menjadi Rp. 1 trilyun pada akhir tahun 1998, Rp. 2 trilyun pada akhir tahun 2000, dan Rp. 3 trilyun pada akhir tahun 2003.
              Kondisi perbankan yang mulai tidak sehat ini menyebabkan pemerintah dan BI terpaksa mengambil kebijakan melikuidasi 16 bank umum swasta terhitung mulai 1 November 1997. Selang beberapa waktu kemudian, yaitu mulai 4 April 1998, pemerintah menghentikan operasi tujuh bank swasta nasional (biasa disebut Bank Beku Operasi atau BBO). Pada tanggal 21 Agustus 1998 pemerintah membekukan lagi tiga buah bank, sehingga statusnya menjadi BBO.
              Proses penyehatan terus dilakukan, pada tanggal 13 Maret 1999 kembali pemerintah melikuidasi 38 buah bank swasta nasional, ditambah dengan 7 buah bank diambil-alih pemerintah, dan 9 bank harus mengikuti program rekapitulasi. Sampai pada akhirya UU No. 13/1968 diganti dengan UU No. 23/1999. Namun demikian segala peraturan perundang-undangan sepanjang belum diperbaharui dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini masih tetap berlaku.
              Sebagai otoritas moneter untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta mengatur dan mengawasi bank, Bank Indonesia bersifat independen. Dengan demikian pihak mana pun termasuk eksekutif, tidak lagi boleh ikut campur tangan atau intervensi. Bahkan Bank Indonesia wajib menolak atau mengabaikan campur tangan itu. 
           Dalam bagan ini tidak tampak “pemerintah”, berbeda dengan bagan sebelumnya. Itu tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada hubungan. Hubungan itu tampak dalam: (1) BI adalah pemegang kas pemerintah; (2) BI untuk dan atas nama pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakannya, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan pemerintah terhadap luar negeri; (3) pemerintah wajin meminta pendapat BI dalam siding cabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan, dan keuangan yang berkaitan dengan tugas BI; (4) BI memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah mengenai APBN serta kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenang BI; (5) dalam hal pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, pemerintah wajib berkonsultasi dengan BI; (6) BI dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara, tetapi BI dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara, kecuali di pasar sekunder.

Sistem Perbankan Indonesia
              Bank-bank yang beroperasi di Indonesia saat ini pada dasarnya dikelompokkan ke dalam Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sedangkan Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sentral. Namun demikian, sejalan dengan terjadinya perubahan dalam sistem keuangan terutama yang terkait dengan kelembagaan perbankan sebagai dampak dikeluarkannya undang-undang di bidang keuangan dan perbankan, bank yang beroperasi di Indonesia dapat dibedakan berdasarkan:
Fungsi, yaitu:
a.       Bank Sentral;
b.      Bank Umum; dan
c.       Bank Perkreditan Rakyat.
Kepemilikan, yaitu:
a.       Bank Persero (Bank Pemerintah);
b.      Bank Umum Swasta Nasional;
c.       Bank Asing;
d.      Bank Pemerintah Daerah;
e.       Bank Campuran.
Sistem Pengenaan Bunga, yaitu:
a.       Bank Konvensional;
b.      Bank Syairah.
Kegiatan di Bidang Devisa, yaitu:
a.       Bank Devisa;
b.      Bank Non Devisa.
Jenis Kantor, yaitu:
a.       Kantor Pusat (Head Office);
b.      Kantor Cabang (Branch Office);
c.       Kantor Cabang Pembantu (Subbranch Office);
d.      Kantor Kas (Cash Services Office);
e.       Kantor Perwakilan (Representative Office);
f.       Kantor Wilayah (Regional Office).

 PENGATURAN DAN PENGAWASAN BANK
Pengaturan dan pengawasan bank merupakan salah satu tugasBank Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 yang telah diubah UU Nomor 3 Tahun 2004. Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan  mengawasi  bank,  Bank  Indonesia menetapkan peraturan,  memberikan  dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank. Untuk maksud tersebut Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.[7]  
Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian tersebut bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat.

Tujuan Pengaturan Dan Pengawasan Bank
Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia sebagai:
  1. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana
  2. Pelaksana kebijakan moneter;
  3. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan; agar tercipta sistem perbankan yang sehat,baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan:
  1. Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi);
  2. Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan
  3. Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian.[8]

Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Bank
Pengaturan dan pengawasan bank oleh BI meliputi wewenang sebagai berikut:
  1. Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian izin oleh BI meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
  2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat.
  3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus,yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank,laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila diperlukan BI dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan tugas pemeriksaan.
  4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.[9]
Sistem Pengawasan Bank Oleh Bank Indonesia
Dalam menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini BI melaksanakan sistem pengawasannya dengan menggunakan 2 pendekatan yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision/RBS). Dengan adanya pendekatan RBS tersebut, bukan berarti mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya untuk menyempurnakan sistem pengawasan sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan yang diterapkan oleh BI akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan berdasarkan risiko.

1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya menekankan pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.

2. Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko merupakan pendekatan pengawasan yang berorientasi ke depan (forward looking). Dengan menggunakan pendekatan tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada risiko-risiko yang melekat (inherent risk)pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risiko (risk control system). Melalui pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan yang potensial timbul di bank.
Jenis-Jenis Risiko Bank :
  • Risiko Kredit : Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya.
  • Risiko Pasar : Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh Bank,yang dapat merugikan Bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar.
  • Risiko Likuiditas : Risiko yang antara lain disebabkan Bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu.
  • Risiko Operasional : Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal,kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
  • Risiko Hukum : Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontra.
  • Risiko Reputasi : Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif terhadap Bank.
  • Risiko Strategik : Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi Bank yang tidak tepat pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya Bank terhadap perubahan eksternal.
  • Risiko Kepatuhan : Risiko yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.[10]
 Bagan Sistem Keuangan Indonesia




Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi 5, (Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 2005, h.1.
Rimsky K. Judisseno, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar